getbox! Not seeing a widget? (More info)

Jumat, 28 Desember 2012

PENGERTIAN FIQH IBADAH

    Menurut bahasa dan istilah  kata ibadah Adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasulNya dan merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhannahu wa Ta’ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dazariyat: 56-58)
Allah Subhannahu wa Ta’ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembahNya sesuai dengan aturan syari’atNya.
Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembahNya tetapi dengan selain apa yang disyari’at-kanNya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembahNya dan dengan syari’atNya, maka dia adalah muk-min muwahhid (yang mengesakan Allah).


SHALAT

A. Pengertian dan Dasar Hukum Shalat

A.1. Pengertian dan dasar hukum pelaksanaanya.
Secara etimolgi makana shalt  adalah “Do’a ” sedangkan jika dipandang secara Terminologi shalat merupakan sebuah ibadah yang tersusun dari dari beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir bagi Allah SWT, di akhiri dengan salam dengan memennuhi syarat yang telah ditentukan.[1]
Dalam membicarakan tentang dasar hukum shalat maka kita akan merujuk pada sumber yakni Al-Quran dan Sunnah, shalat merupakan ibadah yang mendapat kedudukan paling utama atau tidak dapat di sejajarkan ibadah lainya karena shalat merupakan tiang [2]agama, seperti yang di sabdakan Nabi Muhammad SAW:
“Shalat itu tiang agama, maka barang siapa mendirikan shalat berarti ia menegakan agama, dan barang siapa yang meninggalkanya sungguh ia telah merobohkan tiang agama (HR.al-Baihaqi)”
Keistimewaan lain dari ibadah shalat adalah diwajibkanya atas shalat tersebut adalah secara langsung, dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Pada saat di Isra dan di Mi’raj kan, tanpa perantara, seperti umumnya perintah ibdah lainya, dari Anas r.a:
“Shalat itu difardukan atas Nabi Muhammad SAW pada malam ia di isra kan sebanyak lima puluh kali, kumudian dikurangi hingga lima, lalu ia dipangggil: Hai Muhammad putusanku tidak bisa dirubah kembali, dan dengan shalat lima waktu ini, kau tetap mendapat ganjaran lima puuh kali” (HR.Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi yang menyatakan sahnya).
Shalat juga merupakan amalan hamba yang pertama klai di hisab di akhirat nanti. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abdullah bin qurth r.a:
Amalan mula –mula dihisab dari seorang hamba padaa hari kiamat ialah sholat.jika ia baik maka baiklah seluruh amalannya,sebaliknya jika jelek,jelek pula seluruh amalannya” ( HR.Tabhrani )
Apabila shalat dilaksanakan dengan sungguh – sungguh niscaya akan dapat menghindarkan dari perbuatan keji dan mungkar bagi pelakunya sebagaimana telah difirmankan allah dalam kitab al-quran surat Al-Ankabut : 45.
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
Bacalah apa yang diwahyukan kepadamu,yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shlat.sesungguhnya shalat itu mencegah dari  Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Begitu pula telah disebutkan dalam quran surat An-Nisaa ayat 103

#sŒÎ*sù ÞOçFøŠŸÒs% no4qn=¢Á9$# (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4 #sŒÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ

Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

A.2. Hukum Meninggalkan Shalat

Semua muslim sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat atau meragukanya, ia termasuk bukan orang islam,2 sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat adalah termasuk rukun islam, kewajiban menegakan shalat berdasarkan ketetapan agama,dan tidak mempunyai tempat untuk dianalisa serta ijtihad dalam masaalah ini,daan tidak perlu taqlid
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang meninggalkan shalat karna malas dan meremehkan, sedangkan ia mengetahui dan meremehkan,sedangkan ia mengetahui dan meyakini  bahwa  shalat itu wajib. Berikut pendapat-pendapt para imam mazhabmengenai hukum orang yang meninggalkan shalat.
o     Menurut imam Syafi’i , Maliki dan Hambali orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh
o     Menurut imam Hanafi, orang yang meninggalkan shalat kaarna hal diatas ialah ia harus ditahan selama-lamanya atau sampai ia melaksanakan shalat.
o     Menurut Imamiyah (syiah) setiap orang yang meninggalkan yang waijib, maka bagi hakim (pemerintah) yang melihatnya harus mendidiknya, jika ia tidak patuh, maka kewajiban bagi pemerintah untuk mendidiknya kembali, dan apabila pada ke empat kalinya tetep tidak mau mengikuti, maka ia harus di bunuh.3

B. Waktu – waktu Shalat

B.1. Waktu –waktu Wajib
Para ulama / fuqoha telah menyepakati bahawa shalat itu tidak boleh dilakukan sebelum masuk waktunya, Sebagaimana Allah tealh menetapkan dalam Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 4
 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Para ahli fiqih memulai dengan shalat dzuhur, karena ia merupakan shalat pertama yang diperintahkan (di fardukan)4 kemudian setelahnya di fardukan shalat ashar kemudian maghrib, isya dan subuh secara tertib, kelima shalat tersebut diwajibkan di mekkah pada malam isra’ setelah sembilan tahun diutusnya rasulullah, berdasarkan firman Allah SWT dalam quran surat Al-isra, ayat 78:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur ̍ôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% ̍ôfxÿø9$# šc%x. #YŠqåkôtB ÇÐÑÈ
 Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh5 Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).




1.Selamet Abidin dan Moch. Suyono, Fiqih ibadah,(Bandung: Pustaka Setia, 1998) cet. Hal. 61.

2 Dari Jabir r.a :telah bersabda Rasulullah SAW. “batas seseorang dengan kekafiran itu meninggalkan shalat ”(HR.Ahmad, Muslim, Turmudzi,Ibnu majah).
3 Al-syekh al-khabar, kaysful Ghita; Hlm.79 cet.1317 H.
4 Hanafi mempunyai istilah-istilah tentang apa yang wajib dikerjakanya dan yang tidak boleh ditinggalkanya, yang mana dibagi menjdi dua, yaitu fardu apabila perbbuatan ini ditetapkan berdasaskan dalil qathi (pasti), seperti Al-quran,hadist yang mutawatir dan ijma, kedua wajibapabila ditetapkan berdasarkan dalil Dzzanni (perkiraan),seperti qiyas dan hadist yang diriwayatkan oleh satu orang, sedangkan perbuatan yang leb ih baik (kuat) untuk dikerjakannya dari pada ditinggalkanya dibagi kedalam dua bagian juga, yaitu masnun: perbuatan yang biasa dilakukan nabi dan khulafa ur rasidin. Yang kedua mandub, yaitu perbuatan yang diperintahkan oleh nabi tetapi tidak biasa dilakukan oleh beliau sendiri. Begitupun perbuatan yang diwajibkan ditinggalkanya dan tidak boleh dilakukanya, kalau ditetapkan oleh dalil qathi maka perbuatan yang dilarang itu adalah haram. Sedangkan jika jika perbuatan perbuatan ditetapkan berdasarkan dalil dzanni maka larangan tersebut adalah makruh/mendekati haram.
 
5 ayat ini memerangkan waktu-waktu shalat yang lima. Tergelincir matahari untuk waktu shalat zhuhur dan ashar,gelap malam untuk waktu magrib dan isya.

Masalah Shalat Jum’at

  1. Masalah Shalat Jum’at
  1. Kewajiban dan Orang yang wajib Jum’at
Dasarnya ada 2 yaitu: Pertama, Qs.Al-Jumu’ah: 9, Kedua, Hadits nabi Muhammad Saw; “hendaklah khalyak menghentikan pembangkananya terhadap shalat jum’at atau Allah (perlu) mencap (membekukan) hati mereka.
            Mengenai orang yang berkewajiban menjalankan shalat jum’at sudah tentu adalah orng-orang yang memenuhi syarat wajib shalat. Disamping itu ada 4 syarat tambahan, dua syarat telah disepakati oleh ulama yaitu laki-laki dalam kondisi sehat, dan dua lagi terjadi perselihan yaitu orang yang safar dan mamluk (budak). Menurut jumhur ulama tidak  mewjibkan sholat jum’at tapi Daud dan pengikutnya tetap mewajibkan sholat jum’at.
            Pemicu silang pendapat ini karena adanya perbedaan dalam memahami hadits nabi Saw: “shalat jum’at itu adalah haq yang wajib atas setiap muslim ( yang dilakukan ) di dalam suatu jama’ah, terkecuali empat kelompok: hamba (budak) yang dikuasai, kaum wanita, anak-anak, atau orang sakit. Dan di dalam riwayat lainya; kecuali lima kelompok: ( dan disebutkan salah satunya), atau musafir.
  1. Persyaratan Sholat Jum’at
Menurut fuqaha sama dengan bahwa persyaratan itu meliputi syarat-syarat sholat wajib. Terdapat silan pendapat tentang waktu melaksanakan sholat jum’at. Jumhur ulama berpendapat waktu shalat juma’at adalah menggunakan sholat jum’at. Jumhur ulama berpendapat waktu shalat  adalah menggunakan shalat dzuhur, tepatnya adalah ketika matahari tergelincir atau tidak boleh melaksanakan shalat jum’at sebelum  matahari tergelincir.
Pemicu silang pendapat ini karena adanya perbedaan dalam memahami hadits riwayat Al-Bukhari dari  sahal bin sa’id mengatakan: “Sesungguhnya kami tidak pernah makan dan tidur siang dimasa Rasulallah Saw, terkecuali setelah (menunaikan) shalat jum’at.Dalam riwayat lain juga di katakan,”Bahwaahnya mereka(para sahabat) menunaikan sholat dan pergi, padahal tembok belum ada bayanganya (artinya matahari belum tergelincir).
  1. Rukun-Rukun shalat Jum’at
Umat islam mengambil kata sepakat bahwa rukun-rukun shalat jum’at adalah khutbah dan shalat dua rakaat khutbah. Disamping yang disammping yang disepakati itu, mereka berbeda pendapat dalam lima hal yang merupakan bahasan dasar tema ini.
a)     Khutbah
Apakah khutbah menjadi syarat dan rukun shalat jum’at? Ulama fuqaha berpendapat bahwa khutbah merupakan sarat dan rukun shalat jum’at bedasarkan Qs.Al-Jumu’ah… maka bersegeralah kamu mengingat Allah.
b)     Ukuran Khutbah
-        Ibnu Qasyim berpendapat bahwa khutbah yang dianggap yakni khutbah yang diucapkan dengan bahasa arab.
-        Imam Syafi’I bahwa minimal, khutbah itu ada dua. Maksudnya dalam hal ini khatib berdiri pada masing-masing waktu khutbah, dan dimulai setelah duduk sebentar. Artinya berdasarkan shara., maksudnya minimal ebutan khutbah sesuai dengan kebiasaan syara atau hukum.
c)     Mendengarkan khutbah
Kalangan fuqaha berbeda pendapat perihal diam dalam mendengarkan khutabah jum’at, silang pendapat ini menjadi tiga kelompok
-        Bersikap diam didalam rangka mendengarkan khutbah merupakan kewajiban, disamping sebagai ketetapan hukum khutbah. Pendapat ini ( Imam syafi’I, Malik, abu hanifah, Ahmad bin Hanbal)
-        Ketika khutbah dibolehkan, kecuali khotib membaca qur’an kala khutbah.
-        Membedakan jamah jum’at
d)     Seseorang datang ketika khotib berkhutbah
Mengenai seeorang yang hadir kemasjid pada hari jum’at sedang imam khotib tengah berada diatas mimbar. Kalangan fuqaha berbeda pendirian apakah orang tersebut harus mendirikan shalat jum’at atau tidak.
-        Malik berbendapat, orang tersebut tidak perlu melaksanakan shalat jum’at.
-        Yang tetap harus shalat sunah terlebih dahulu berdasarkan hadis.

menurut anda isi dari blog ini ?